Memang suasana Idul Fitri 1435 H di Gaza tahun ini berbeda karena agresi Israel yang terus membabi buta. Mengungsi ke kamp adalah pilihan tepat untuk menyelamatkan diri dari serangan brutal teroris Israel tersebut.
Walau dengan keterbatasan yang ada, ternyata kebahagian rakyat Gaza tidak pupus di lebaran kali ini. Karena para wanita yang kebanyakan kaum ibu menyiapkan ‘kue perlawanan’ untuk membahagiakan hati para anak-anak di Gaza dan membuat Israel ciut. Lha kok bisa? Berikut kabarnya.
Usai Shalat Idul Fitri, Nima — bocah sembilan tahun yang kini mengungsi di sebuah sekolah — tak henti menangis. Di atas kepalanya, jet-jet Israel terbang hilir mudik, dan di kejauahan gelegar bom silih berganti.
Nima tidak sedang menangis ketakutan, atau terancam kematian. Ia menangisi sesuatu yang hilang saat libur Idul Fitri, yaitu kue.
Elham Elzanin (39), sang ayah, tidak sempat membawa apa pun dari rumahnya Beit Hanoun. Ia hanya mengambil anak-anak yang ketakutan dan membawanya ke Sekolah Al Huda.
Kepada Aljazeera, Elzanin mengatakan rengekan Nima menginspirasinya untuk mengumpulkan semua orang tua di pengungsian dan membuat kue Idul Fitri bersama-sama. Ide itu cepat menyebar ke seluruh kamp pengungsi. Tak lama kemudian pembuatan kue Idul Fitri secara massal dimulai.
“Israel harus tahu kami tidak kehilangan kegembiraan Idul Fitri di tengah hujan kematian,” ujar Elzanin. “Kegembiraan kami adalah kue tradisional, yang setiap tahun kami nikmati bersama keluarga.”
Nima bukan satu-satunya bocah Gaza yang merengek meminta kue Idul Fitri. Khitam al-Fayomi (46) mengatakan dua anak terkecilnya; Abdullah (7) dan Fatima (9), juga merengek-rengek meminta kue. Bukan kue toko, tapi kue buatan tangan ibunda.
“Kita tidak bisa menjauhkan anak-anak dari kebahagiaan Idul Fitri, hanya karena bom Israel,” ujar ibu sembilan anak yang melarikan diri dari Tuffa.
Di sebuah lorong sekolah, Al-Fayomi — bersama 40 ibu lainnya — memilin-milin adonan kue, menekan kurma, dan mengaduknya dengan terigu. Entah kue apa namanya. Yang pasti, kue yang hanya ada saat Idul Fitri itu terkenal sampai ke luar Jalur Gaza.
Anak-anak berlaian di halaman sekolah, seraya menunggu kue-kue buah tangan ibu tercinta.
Nawal Abu Asi tidak punya pekerjaan lain di pengungsian, dan memutuskan bergabung dengan parau ibu. Delapan belas anggota keluarganya, yang mengungsi dari Shujayea, juga tak sabar ingin menikmati kue.
“Semakin banyak Israel membunuh kami, semakin membludak kebahagian yang kami rasakan meski dengan cara sederhana,” ujar Nawal, petenis berusia 24 tahun.
Nawal menyaksikan rumahnya dibom. Ia kehilangan segalanya, termasuk gaun pengantin. Rencananya, ia menikah 15 Agustus 2014.
Khader Abelkas (48), satu satunya pria di antara para ibu pembuat kue, juga kehilangan rumah dan semua hartanya. Namun ia bangga bisa menyelamatkan enam anaknya.
“Kami ingin memberi tahu Israel, bencana apa pun yang mereka timpakan, kami akan tetap membuat kue Idul Fitri,” ujarnya. “Ini kue perlawanan” sebagaimana di beritakan oleh Inilah (31/7) yang berhasil dikutip Silontong.